Entri Populer

Senin, 31 Oktober 2011

Asal-usul Vertebrata

PENDAHULUAN
Evolusi adalah perubahan genotip pada suatu populasi yang berlangsung secara perlahan-lahan dan memerlukan waktu yang sangat panjang.Menurut teori evolusi, kehidupan berawal dan berevolusi di laut, kemudian amfibi memindahkannya ke darat. Skenario evolusi ini juga menyatakan bahwa amfibi kemudian berevolusi menjadi reptil, makhluk yang hanya hidup di darat. Sekali lagi, skenario ini tidak masuk akal, karena terdapat perbedaan-perbedaan struktural yang jauh antara dua kelompok besar hewan ini. Misalnya, telur amfibi didesain untuk berkembang di dalam air sedangkan telur amniotik reptil didesain untuk berkembang di darat. Evolusi “bertahap” amfibi adalah mustahil, sebab tanpa telur yang didesain dengan baik dan sempurna tidak mungkin sebuah spesies dapat bertahan hidup. Selain itu, seperti biasa, tidak ada bukti bentuk transisi yang mestinya menghubungkan amfibi dengan reptil. Robert L. Carrol, seorang ahli paleontologi vertebrata, mengakui bahwa reptil-reptil awal sangat berbeda dengan amfibi dan nenek moyang mereka belum dapat ditemukan.
Teori evolusi menurut Jean Lamarck
1.      Evolusi organik terjadi karena perubahan-perubahan yang disebabkan oleh pengaruh lingkungannya dapat diturunkan.

2.      Organ yang mengalami perubahan karena terus menerus dipakai akan berkembang makin sempurna dan organ yang tidak diperlukan lagi lama kelamaan perkembangannya menurun dan akhirnya rudiment atau atrofi. Namun teori Lamarck disanggah Weismann.
Teori Evolusi Menurut Charles Darwin
1.      Spesies yang ada sekarang adalah keturunan dari spesies-spesies sebelumnya.
2.      Seleksi alam sangat menentukan berlangsungnya mekanisme evolusi.
Seleksi alam merupakan gagasan murni dari Darwin. Sementara teori pertama di atas telah ada sejak jama Yunani kuno, hanya saja Darwin menjelaskannya secara lebih tajam dan detil.
Ciri-ciri proses evolusi
1.       Evolusi adalah perubahan dalam satu populasi bukan perubahan individu.
2.       Perubahan yang terjadi hanya frekuensi gen-gen tertentu, sedangkan sebagian      besar sifat gen tidak berubah.
3.      Evolusi memerlukan penyimpangan genetik sebagai bahan mentahnya. Dengan kata lain harus ada perubahan genetik dalam evolusi.
4.      Dalam evolusi perubahan diarahkan oleh lingkungan, harus ada faktor pengarah sehingga evolusi adalah perubahan yang selektif.
Faktor Perubahan
1.       Mutasi gen maupun mutasi kromosom menghasilkan bahan mentah untuk evolusi. Tetapi Darwin sendiri sebenarnya tidak mengenal mutasi ini, sementara mutasi merupakan peristiwa yang sangat penting yang mendukung keabsahan teori Darwin.
2.       Rekombinasi perubahan yang dikenal Darwin. Rekombinasi dari hasil-hasil mutasi memperlengkap bahan mentah untuk evolusi.
Faktor pengarah :
1.       Dalam setiap species terdapat banyak penyimpangan yang menurun, karenanya dalam satu species tidak ada dua individu yang tepat sama dalam susunan genetiknya (pada saudara kembar misalnya, susunan genetiknya tetap tidak sama).
2.       Pada umumnya proses reproduksi menghasilkan jumlah individu dalam tiap generasi lebih banyak daripada jumlah individu pada generasi sebelumnya.
3.       Penambahan individu dalam tiap species ternyata dikendalikan hingga jumlah suatu populasi species dalam waktu yang cukup lama tidak bertambah secara drastis.
4.       Ada persaingan antara individu-individu dalam species untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya dari lingkungannya. Persaingan intra species ini terjadi antara individu-individu yang berbeda sifat genetiknya. Individu yang mempunyai sifat paling sesuai dengan lingkungannya akan memiliki viabilitas yang tinggi. Di samping viabilitas juga fertilitas yang tinggi merupakan faktor yang penting dalam seleksi alam.

Mekanisme evolusi terjadi karena adanya variasi genetik dan seleksi alam.
Variasi genetik muncul akibat : mutasi dan rekombinasi gen-gen dalam keturunan baru.

Frekuensi Gen
Pada proses evolusi terjadi perubahan frekuensi gen. Bila perbandingan antara genotp-genotp dalam satu populasi tidak berubah dari satu generasi ke generasi, maka frekuensi gen dalam populasi tersebut dalam keadaan seimbang. Frekuensi gen seimbang bila :
1.       Tidak ada mutasi atau mutasi berjalan seimbang (jika gen A bermutasi menjadi gen a, maka harus ada gen a yang menjadi gen A dalam jumlah yang sama).
2.       Tidak ada seleksi
3.       Tidak ada migrasi
4.       Perkawinan acak
5.       Populasi besar
Bila frekuensi gen dalam satu populasi ada dalam keadaan seimbang berlaku Hukum Hardy Weinberg.
Apabila frekuensi gen yang satu dinyatakan dengan p dan alelnya adalah q, maka menurut
Weinberg :
(p+q)=1
Bila frekuensi gen A=p dan frekuensi gen a =1 maka frekuensi genotip :
AA : Aa : aa : p^2 : 2pq : q^2
Terbentuknya spesies baru dapat terjadi karena :
1.       Isolasi waktu
 Misalnya adalah kuda. Kuda jaman eosen yaitu Eohippus - Mesohippus - Meryhippus - Pliohippus - Equus. Dari jaman eosin hingga sekarang seorang ahli palaentolog menduga telah terjadi 150 ribu kali mutasi yang menguntungkan untuk setiap gen kuda. Dengan dmikian terdapat cukup banyak perbedaan antara nenek moyang kuda dengan kuda yang kita kenal sekarang. Oleh sebab itu kuda-kuda tersebut dinyatakan berbeda species.
2.       Isolasi geografis
Burung Fringilidae yang mungkin terbawa badai dari pantai Equador ke kepulauan Galapagos. Karena pulas-pulau itu cukup jauh jaraknya maka perkawinan populasi satu pulau dengan pulau lainnya sangat jarang terjadi. Akibat penumpukan mutasi yang berbeda selama ratusan tahun menyebabkan kumpulan gen yang jauh berbeda pada tiap-tiap pulaunya. Dengan demikian populasi burung di tiap-tiap pulau di kepulauan Galapagos menjadi spesies yang terpisah.
3.       Domestikasi
Hewan ternak yang dijinakkan dari hewan liar dan tanaman budi daya dari tumbuhan liar adalah contoh domestikasi. Domestikasi memindahkan makhluk-makhluk tersebut dari habitat aslinya ke dalam lingkungan yang diciptakan manusia. Hal ini mengakibatkan muncul jenis hewan dan tumbuhan yang memiliki sifat menyimpang dari sifat aslinya.
4.       Mutasi kromosom
Adalah peristiwa terjadinya species baru secara cepat.
Isolasi Reproduksi
Isolasi reproduksi terjadi karena :
1.       Isolasi ekologi : isolasi karena menempati habitat yang berbeda.
2.       Isolasi musim : akibat berbeda waktu pematangan gamet.
3.       Isolasi tingkah laku : akibat berbeda tingkah laku dalam hal perkawinan.
4.       Isolasi mekanik : karena bentuk morfologi alam kelamin yang berbeda.
5.       Isolasi gamet : karena gamet jantan tidak memiliki viabilitas dalam alat reproduksi betina.
6.       Terbentuknya basta mandul.
7.       Terbentuk bastar mati bujang.
Dengan berbagai perkembangan dalam perkembangan dalam ilmu biologi, khususnya genetika maka kemudian Teori Evolusi Darwin diperkaya. Seleksi alam tidak lagi menjadi satu-satunya agen penyebab terjadinya evolusi, melainkan ada tambahan faktor-faktor penyebab lain yaitu: mutasi, aliran gen, dan genetic drift. Oleh karenanya teori evolusi yang sekarang kita seirng disebut Neo-Darwinian atau Modern Systhesis.
Secara singkat, proses evolusi oleh seleksi alam (Neo Darwinian) terjadi karena adanya:
a. Perubahan frekuensi gen dari satu generasi ke generasi berikutnya.
b. Perubahan dan genotype yang terakumulasi seiring berjalannya waktu.
c. Produksi varian baru melalui pada materi genetic yang diturunkan (DNA/RNA).
d. Kompetisi antar individu karena keberadaan besaran individu melebihi sumber daya lingkungan tidak cukup untuk menyokongnya.
e. Generasi berikut mewarisi “kombinasi gen yang sukses” dari individu fertile (dan beruntung) yang masih dapat bertahan hidup dari kompetisi.
   
Referensi :





Praktek lapang koralogi di pulau barrang lompo

keanekaragaman biota, tempat tinggal sementara atau tetap, tempat mencari
makan atau memijah dan daerah asuhan, serta tempat berlindung bagi
hewan laut lainnya. Terumbu karang juga berfungsi sebagai tempat
berlangsungnya siklus biologi, kimiawi, dan fisik secara global yang
mempunyai tingkat produktivitas yang sangat tinggi.
Disamping itu, terumbu karang merupakan sumber bahan makanan
langsung atau tidak langsung dan sumber obat-obatan. Terumbu karang
sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan sumber utama bahan
konstruksi. Terumbu karang mempunyai nilai yang penting sebagai
pendukung dan penyedia bagi perikanan pantai termasuk di dalamnya
sebagai penyedia lahan dan tempat budidaya berbagai hasil laut.
Terumbu karang merupakan gudang persediaan makanan dan obat-
obatan bagi manusia di masa kini maupun di masa mendatang. Selain itu
keindahannya juga menjadi sumber devisa pariwisata bagi negara. Saat ini
wisata bahari Indonesia tengah berkembang pesat dan terumbu karang
merupakan salah aset utamanya. Terumbu karang adalah rumah bagi ribuan
hewan dan tumbuhan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Berbagai jenis
hewan mencari makan dan berlindung di ekosistem ini. Berjuta penduduk
Indonesia bergantung sepenuhnya pada terumbu karang sebagai sumber
pencaharian. Jumlah panenan ikan, kerang dan kepiting dari terumbu karang
secara lestari di seluruh dunia dapat mencapai 9 juta ton atau sedikitnya 12%
dari jumlah tangkapan perikanan dunia. Sumber perikanan yang ditopang
terumbu karang memiliki arti penting bagi masyarakat setempat yang pada
umumnya masih memakai alat tangkap tradisional. Selain nilai ekonominya,
terumbu karang merupakan laboratorium alam yang sangat unik untuk
berbagai penelitian yang dapat mengungkapkan penemuan yang berguna
bagi kehidupan manusia. Beberapa jenis sponge, misalnya, merupakan
hewan terumbu karang yang berpotensi sebagai obat antara lain untuk
penyakit kanker. Selain itu hewan karang yang mengandung kalsium
karbonat telah dipergunakan untuk pengobatan tulang rapuh.
Terumbu karang meliputi wilayah yang luas (jutaan mil persegi) di
daerah tropik, perairan pantai yang dangkal, didominasi oleh pembentukan
terumbu karang yang memang sering digunakan untuk membatasi
lingkungan lautan tropik. Terumbu karang merupakan keunikan diantara
asosiasi atau komunitas lautan yang seluruhnya dibentuk oleh kegiatan
biologis. Terumbu adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium
karbonat yang terutama dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, klas
Anthozoa, ordo Madreporaria= Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari
alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium
karbonat. Meskipun karang ditemukan diseluruh lautan di dunia, baik
diperairan kutub maupun perairan uruhari, seperti yang ada di daerah tropik,
tetapi hanya di daerah tropik terumbu dapat berkembang. Hal ini disebabkan
oleh adanya dua kelompok karang yang berbeda, yang satu dinamakan
hermatipik dan yang lain adalah ahermatipik (Bengen, D.G. 2002)
             Karang hermatipik dapat menghasilkan terumbu sedangkan
ahermatipik tidak. Karang ahermatipik tersebar diseluruh dunia, tetapi karang
hermatipik hanya ditemukan di wilayah tropik. Perbedaan yang mencolok
antara kedua karang ini adalah bahwa didalam jaringan karang hermatipik
terdapat sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis yang dinamakan zooxanthella,
sedangkan karang ahermatipik tidak.
Terumbu karang adalah suatu ekosistem didasar laut tropis yang
terutama dibangun oleh biota laut penghasil kapur khususnya jenis-jenis
karang batu dan alga berkapur, bersama-sama dengan biota yang hidup
didasar lainnya seperti Mollusca, Crustacea, Echinodermata, Polycaeta,
Porifera, Tunicata dan biota lainnya yang hidup bebas di perairan sekitarnya (Dahuri, dkk. 1999)
Terumbu karang merupakan ekosistem yang kompleks dengan
keanekaragaman hayati tinggi ditemukan di perairan dangkal daerah tropis
(English et al., 1997). Walaupun memiliki kompleksitas dan keanekaragaman
hayati yang tinggi, namun ekosistem ini tidak stabil, karena sensitif terhadap
gangguan yang timbul, baik secara alami maupun akibat aktifitas manusia.
Terumbu karang selalu hidup bersama-sama dengan hewan lain.
Rangka karang itu sendiri memberikan tempat perlindungan berbagai macam
spesies hewan, termasuk jenis penggali lubang dari golongan moluska,
cacing polychaeta, dan kepiting. Terumbu karang juga merupakan tempat
hidup yang sangat baik bagi ikan hias, selain itu dapat melindungi pantai dari
hempasan ombak sehingga bisa mengurangi proses abrasi (Gomez, E.D. and Halen, T.Y., 1988).
Karena letaknya di dasar laut, walaupun hanya pada wilayah laut
dangkal, perhatian masyarakat pada umumnya dan pemerintah pada
khususnya terhadap pentingnya nilai dan permasalahan terumbu karang di
Indonesia dinilai cukup lambat. Hal ini disebabkan oleh berbagai kendala
termasuk masalah teknologi dan kemampuan penyelaman, serta kebijakan
pemerintah, sehingga informasi masalah kondisi terumbu karang baru
mendapat perhatian yang lebih serius pada tahun 90'an. Keterlambatan ini
menyebabkan tingkat kerusakan terumbu karang di Indonesia dinilai sudah
sangat parah, dimana lebih dari 70 % ekosistem terumbu karang kita telah
mengalami kerusakan (Hopley dan Suharsono, 2000; Edinger dkk., 1998;
Jompa, 1996).
Sampai saat ini, usaha rehabilitasi kawasan terumbu karang yang
telah mengalami kerusakan di Indonesia masih sangat kurang, salah satu
upaya yang biasa dilakukan untuk maksud tersebut adalah dengan
melakukan transplantasi karang dewasa (misalnya Fox dkk., 2000). Namun
demikian, untuk memperbaiki lahan yang cukup luas maka akan dibutuhkan
sumber karang dewasa yang cukup banyak. Hal ini dinilai bisa merusak
habitat tempat dimana dilakukan pengambilan karang dewasa tersebut, lagi
pula sering kali tingkat kelangsungan hidupnya untuk jangka panjang belum
memuaskan
           Karang membutuhkan kejernihan air yang tinggi dan jumlah unsur
hara atau nutrient yang rendah. Karena zooxanthella (alga simbiosa)
membutuhkan cahaya untuk fotosintesis, maka cahaya adalah salah satu
faktor utama yang mempengaruhi distribusi vertikal karang pembentuk
terumbu (karang hermatypic). Oleh karena itu, kebanyakan pertumbuhan
karang yang paling aktif terdapat pada kedalaman 2-10 meter.Hubungan
simbiosa antara zooxanthellae dan karang merupakan faktor penting dalam
pembentukan terumbu karang. Alga bersel satu ini mendapatkan
perlindungan yang baik dalam jaringan karang dan memperoleh suplai
nutrient atau unsur hara dari hasil sekresi karang dan karbon dioksida dari
hasil respirasi hewan karang. Kedua unsur tersebut akan dimanfaatkan oleh
zooxanthella untuk pertumbuhan dan perkembangannya melalui proses
fotosinthesis. Hasil dari fotosintesis tersebut yang merupakan senyawa
karbon selanjutnya dimanfaatkan oleh karang sebagai sumber energi.
Untuk pertumbuhan terumbu karang yang baik, dibutuhkan kondisi
lingkungan yang cocok (Hutomo, M., 1993).
Sebagai kawasan yang didominasi oleh lingkungan laut, terdapat tiga
ekosistem laut tropis yakni ekosistem terumbu karang, ekosistem padang
lamun dan ekosistem mangrove. Ketiganya saling terkait secara ekologis dan
memberikan manfaat yang begitu besar terhadap kehidupan manusia.
Ekosistem-ekosistem tersebut sangat kompleks, kaya dengan
keanekaragaman hayati serta memiliki banyak fungsi dan manfaat bagi
ekologi alam laut dan manusia yang tinggal di pesisir. Masyarakat pesisir
telah lama memanfaatkan terumbu karang dan mangrove sebagai daerah
sumber mata pencaharian dan kegunaan fisik mampu melindungi pantai dari
ancaman abrasi. Dari sisi ekologi ekosistem ini sebagai tempat hidup
(habitat) bagi hampir semua biota laut perairan dangkal baik untuk mencari
makan, pembesaran dan penetasan atau melahirkan anak (Bengen, 2000).
Namun demikian, ancaman bagi ekosistem laut tropis tetap ada
dimana-mana terutama dari manusia yang memanfaatkannya. Keserakahan
manusialah menjadi faktor penyebab utama kerusakan ekosistem pantai
tropis terutama di negara-negara berkembang seperti di Indonesia (Iriani, 2003.).
            Guna mengetahui kondisi ekosistem terkini aspek pemanfaatan
ekosistem dimasa mendatang di Barrang Lompo , maka perlu diketahui
kondisi ekologi sumberdaya dan tingkat produktifitas terumbu karangnya.
Untuk mengetahui itu semua maka diperlukan suatu upaya pengkajian yang
lebih terfokus dan detail monitoring ekologi dan survey Creel sehingga dapat
diperoleh informasi tentang sumberdaya terumbu karang dan peluang
pengembangannya.

Praktek lapang koralogi dilaksanakan di Pulau Barrang Lompo terletak sekitar 12 kilometer sebelah barat Kota Makassar dan berada di kawasan Kepulauan Spermonde. Pulau ini memiliki luas sekitar 89 hektar, dengan jumlah penduduk kurang lebih 5.000 jiwa dan berasal dari berbagai etnik.
Sampel ini didapatkan di derah riff plate di bagian tenggara pulau barrang lompo, dengan kecerahan 100 %. Warna pertama sampel ini adalah hijau muda. Karang ini kita dapatkan hidup di substrat pasir dan diamati adalah karang massive. Pengamatan pada bentuk pertumbuhan karang. Cara ini sangat mudah dan cepai dipelajari yaitu dengan melihat bentuk pertumbuhan koloni karang. Ini adalah karang, tangguh semi-agresif yang akan memperluas tentakel penyapu di malam hari, Karang dikawasan ini cukup dangkal sehingga rentan terkena sinar matahari secara langsung saat air laut surut terendah, umumnya berbentuk membulat, permukaannya halus dan padat. Ukurannya bervariasi mulai dari sebesar telur sampai sebesar ukuran rumah.
Klasifikasi karang Goniastrea 

Filum : Cnidaria

       Class : Anthozoa

             Order : Sclerectinia

                      Family : Faviidae

                            Genus : Goniastrea

  1. Ø  Mempunyai Bentuk Koloni Massive
  2. Ø  Septa dan kolumella bersatu membentuk Struktur yang tampak
  3. Ø  Koralit relatif besar dan tebal dinding porous
  4. Ø  Koloni selalu mempunyai bentuk polyp yang panjang dan warnanya berbeda
  5. Ø  Terlihat adanya pusat atau central pada koralit
  6. Ø  Koralit ceroid dengan septa antara koralit yang berdekatan sering menjadi satu.


CARA MAKAN
Karang memiliki dua cara untuk mendapatkan makan, yaitu
1. Menangkap zooplankton yang melayang dalam air.
2. Menerima hasil fotosintesis zooxanthellae.
Ada pendapat para ahli yang mengatakan bahwa hasil fotosintesis zooxanthellae yang dimanfaatkan oleh karang, jumlahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan proses respirasi karang tersebut (Muller-Parker & D’Elia 2001). Sebagian ahli lagi mengatakan sumber makanan karang 75-99% berasal dari zooxanthellae (Tucket & Tucket 2002).
 Ada dua mekanisme bagaimana mangsa yang ditangkap karang dapat mencapai mulut:
1. Mangsa ditangkap lalu tentakel membawa mangsa ke mulut
2. Mangsa ditangkap lalu terbaw a ke mulut oleh gerakan silia di sepanjang    tentakel.
REPRODUKSI & PERTUMBUHAN KARANG
Seperti hew an lain, karang ini memiliki kemampuan reproduksi seksual yaitu
Reproduksi seksual adalah reproduksi yang melibatkan peleburan sperma dan ovum (fertilisasi). Sifat reproduksi ini lebih komplek karena selain terjadi fertilisasi, juga melalui sejumlah tahap lanjutan (pembentukan larva, penempelan baru kemudian pertumbuhan dan pematangan).
Siklus reproduksi karang secara umum adalah sebagai berikut:

Telur & spema dilepaskan ke kolom air (a) �� fertilisasi menjadi zigot terjadi di permukaan air (b) �� zygot berkembang menjadi larva planula yang kemudian mengikuti pergerakan air . Bila menemukan dasaran yang sesuai, maka planula akan menempel di dasar (c) �� planula akan tumbuh menjadi polip (d) �� terjadi kalsifikasi (e) �� membentuk koloni karang (f) namun karang soliter tidak akan membentuk koloni

Pada karang bentuk pertumbuhannya massive atau foliouse pertumbuhannya  hanya antara 0,3 cm sampai 2 cm pertahun.
Proses kalisifikasi sebenarnya adalah proses mineralisasi yang terjadi
diluar kalikoblas epidermis. Bahan utama yang digunakan untuk proses
kalsifikasi sebenarnya merupakan suatu hasil metabolisme yang
disekresikan, dan terdiri dari beberapa substansi mukopolisakarida. Adanya
bahan organik ini memungkinkan karang mengikat kalsium dari air laut.
Proses kalsifikasi karang sangat kompleks.
karang batu terutama yang bentuk
massif (bulat dan padat) dan tidak jarang karang yang diambil masih
hidup. Karang yang diambil dipergunakan untuk membuat
bangunan/rumah, jalan.

Daptar Pustaka

Bengen, D.G. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut
                serta Prinsip Pengelolaannya. PK-SPL. IPB, Bogor

Dahuri, R., J. Rais, SP Ginting dan MJ Sitepu. 1996. Pengelolaan
               Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. PT
               Pradnya Paramita. Jakarta.

English, S.C.; Wilkinson and Baker, V., 1997. Survey Manual for
              Tropical Marine Resources. Asean. ASEAN-Australia Marine
              Science Project: Living Coastal Resources. p. 68-80.

Gomez, E.D. and Halen, T.Y., 1988. Monitoring Reef Condition. In: Eds.:
                       R.A. Kenchington and B.E.T., Hudson. p.187-195. UNESCO.
                     Jakarta.

Hutomo, M., 1993. Pengantar Studi Ekologi Komunitas Ikan Karang
                    dan Metode Pengkajiannya. Puslitbang Oseanologi. LIPI.
                     Jakarta.

Iriani, 2003. Tingkat Pertumbuhan Karang Acropora pulchra Hasil
                    Transplantasi Pada Kedalam Berbeda di Perairan Pulau
                     Barrang Lompo Kecamatan Ujung Tanah Kota Makassar
. Tesis.
                     Universitas Hasanuddin. Makassar.

Jompa, J., 1996. Monitoring and Assessment of Coral Reefs On
                    Spermonde Archipelago, South Sulawesi. Thesis. MC Master –
                    Canada.

Jompa, J. Thana, D, Sudirman 2003. Bahan Kuliah Wawasan Sosial
                   Budaya Bahari, Aspek Bio-Ekologis. MKDU, Universitas
                  Hasanuddin Press.