Entri Populer

Senin, 19 Desember 2011

Sebaran klorofil-a di perairan

PENDAHULUAN

Klorofil-a merupakan pigmen penting yang diperlukan fitoplankton dalam melakukan proses fotosintesis. Fitoplankton berperan sebagai produsen primer dalam rantai kehidupan di laut, sehingga  keberadaannya sangat penting sebagai dasar kehidupan di laut.. Konsentrasi klorofil di suatu perairan dapat menggambarkan besarnya produktifitas primer disuatu perairan.
Suhu di laut merupakan faktor yang  penting bagi kehidupan organisme di lautan, karena suhu dapat mempengaruhi metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme di laut. Suhu permukaanlaut sangat penting untuk diketahui karena sebaran suhu permukaan laut dapat memberikan informasi mengenai front, upwelling, arus, daerah tangkapan ikan, cuaca/iklim, pencemaran miyak, dan pecemaran panas (Susilo, 2000)
Penginderaan jauh merupakan suatu cara pengamatan objek tanpa menyentuh objek secara langsung.  Sistem ini dapat mencakup suatu areal yang luas dalam waktu bersamaan, selain itu sistem ini relatif lebih murah dibandingkan dengan penelitian secara langsung. Penginderaan jauh dapat digunakan untuk mendeteksi sebaran konsentrasi klorofil dan suhu pemukaan laut secara cepat untuk wilayah yang luas.

PEMBAHASAN

Klorofil-a pada fitoplankton merupakan parameter yang sangat penting dalam menentukan produktivitas primer di laut. Sebaran dan tingkat konsentrasi klorofil-a berhubungan dengan kondisi oseanografis suatu perairan. Sebaran klorofil-a di laut bervariasi secara geografis maupun berdasarkan kedalaman perairan. Intensitas cahaya matahari, nutrien (terutama nitrat, fosfat dan silikat), dan arus merupakan parameter-parameter fisik kimia yang mengatur dan mempengaruhi sebaran klorofil-a di suatu perairan. Perbedaan parameter fisika-kimia merupakan penyebab bervariasinya produktivitas primer di laut.  Umumnya sebaran konsentrasi klorofil-a tinggi di perairan pantai sebagai akibat dari tingginya suplai nutrien yang berasal dari daratan melalui aliran air sungai dan run off bahan organik secara langsung. Selain itu di beberapa tempat ditemukan bahwa konsentrasi klorofil-a cukup tinggi walaupun jauh dari daratan. Kondisi demikian terjadi karena proses sirkulasi massa air yang memungkinkan terangkutnya sejumlah nutrien dari lapisan laut dalam ke lapisan permukaan seperti yang terjadi pada daerah upwelling. Fitoplankton mengandung pigmen klorofil yang berfungsi untuk menyerap cahaya matahari sebagai sumber energi untuk fotosintesis. Terdapat 3 macam klorofil pada fitoplankton yaitu klorofil a, b dan c. Klorofil-a merupakan pigmen yang sangat penting dalam proses fotosintesis fitoplankton di laut (Strickland, 1960 dalam Prasasti et al., 1987). Ditinjau dari fisiologis tumbuhan, spektrum cahaya yang diserap oleh fitoplankton berada pada kisaran gelombang 400 - 720 nm atau dikenal sebagai PAR (Photosyntetically Active Radiation) atau Radiasi Aktif Fotosintesis. Spektrum tersebut hampir sama dengan spektrum pada sinar tampak yaitu 360-780 nm. Pigmen klorofil-a memiliki sifat absorbansi yang tinggi pada kanal berwarna biru dan merah. Sedangkan klorofil-a akan memantulkan kanal berwarna hijau dan infra merah dekat karena tidak menyerap radiasi gelombang elektromagnetik pada kanal ini. Fitoplankton menyerap energi cahaya pada panjang gelombang pendek sehingga
terlihat adanya penurunan besarnya energi yang dipantulkan pada panjang gelombang tersebut (Suwargana, 2006).

a.     Suhu permukaan laut pada musim barat dan musim timur
Konsentrasi Klorofil, Suhu Permukaan Laut
Gambar 1. Rata-rata nilai suhu permukaan laut pada musim barat dan musim timur 
Suhu permukaan laut pada musim barat lebih tinggi dibandingkan dengan suhu permukaan lautpada musim timur (Gambar1). Nilai rata-rata SPL tertinggi terjadi pada tanggal 7 Februari 2005 sebesar 29.263°C. Rata-rata SPL terendah terjadi pada tanggal 24 Agustus 2005 yaitu sebesar 26.294°C (Gambar 1).



b.    Sebaran konsentrasi klorofil-a pada musim barat dan musim timur
Konsentrasi Klorofil, Suhu Permukaan Laut
Gambar 2. Rata-rata nilai konsentrasi klorofil pada musim barat dan musim timur 
Konsentrasi klorofil laut pada musim barat lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi klorofil pada musim timur (Gambar1). Nilai rata-rata konsentrasi klorofil terendah terjadi pada tanggal 15 Desember 2005 sebesar 0.357 mg/m3. Rata-rata konsentrasi klorofil tertinggi terjadi pada tanggal 15 Agustus 2005 yaitu sebesar 0.626 mg/m3 (Gambar 2).










REFERENSI

Produktifitas Primer

PENDAHULUAN
Suatu ekosistem dapat terbentuk oleh adanya interaksi antara makhluk dan lingkungannya, baik antara makhluk hidup dengan makhluk hidup lainnya dan antara makhluk hidup dengan lingkungan abiotik (habitat). Interaksi dalam ekosistem didasari adanya hubungan saling membutuhkan antara sesama makhluk hidup dan adanya eksploitasi lingkungan abiotik untuk kebutuhan dasar hidup bagi makhluk hidup. Jika dilihat dari aspek kebutuhannya, sesungguhnya interaksi bagi makhluk hidup umumnya merupakan upaya mendapatkan energi bagi kelangsungan hidupnya yang meliputi pertumbuhan, pemeliharaan, reproduksi dan pergerakan.
Keberlangsungan tersebut membuat setiap individu berjuang untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Sehingga mereka memproduksi segala hal yang mereka butuhkan dalam melangsungkan hidupnya.
Produktivitas Primer
Produktivitas Primer ialah laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya energi dari senyawa-senyawa anorganik. Jumlah seluruh bahan organik (biomassa) yang terbentuk dalam proses produktivitas dinamakan produktivitas primer kotor, atau produksi total.
Jumlah seluruh bahan organik yang terbentuk dalam proses produksivitas dinamakan produksi primer kotor, atau produksi total. Karena sebagian dari produksi total ini digunakan tumbuhan untuk kelangsungan proses-proses hidup, respirasi. Produksi primer bersih adalah istilah yang digunakan bagi jumlah sisa produksi primer kotor setelah sebagian digunakan untuk respirasi. Produksi primer inilah yang tersedia bagi tingkatan-tingkatan trofik lain.
Produksi primer kotor maupun bersih pada umumnya dinyatakan dalam jumlah gram karbon (C) yang terikat per satuan luas atau volume air laut per interval waktu. Jadi, produksi dapat dilaporkan sebagai jumlah gram karbon per m2 per hari (gC/m2/hari), atau satuan-satuan lain yang lebih tepat.
Hasil tetap (Standing crop) yang diterapkan pada tumbuhan ialah jumlah biomassa tumbuhan yang terdapat dalam suatu volume air tertentu pada suatu saat tertentu.Di laut khususnya laut terbuka, fitoplankton merupakan organisme autotrof utama yang menentukan produklivitas primer perairan. Produktivitas jumlah karbon yang terdapat di dalam matenal hidup dan secara umum dinyatakan sebagai jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kuadrat kolom air per hari (g C/m2/hari) atau jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kubik per hari (g C/m3/hari) (Levinton. 1982). Selain jumlah karbon yang dihasilkan tinggi rendahnya produktivitas primer perairan dapat diketahui dengan melakukan pengukuran terhadap biomassa fitoplankton dan konsentrasi klorofil-a. dimana kedua metode ini dapat diukur secara langsung di lapangan.
Sumber energy primer bagi ekosistem adalah cahaya matahari. Energi cahaya matahari hanya dapat diserap oleh organisme tumbuhan  hijau dan organisme fotosintetik. Energi cahaya digunakan untuk mensintesis molekul anorganik menjadi molekul organik yang kaya energy. Molekul tersebut selanjutnya disimpan dalam bentuk makanan dalam tubuhnya dan menjadi sumber bahan organic bagi organisme lain yang heterotrof. Organisme yang memiliki kemampuan untuk mengikat energy dari lingkungan disebut produsen.
Di lingkungan perairan Indonesia Produksi bagi ekosistem merupakan proses pemasukan dan penyimpanan energy dalam ekosistem. Pemasukan energy dalam ekosistem yang dimaksud adalah pemindahan energy cahaya menjadi energy kimia oleh produsen. Sedangkan penyimpanan energy yang dimaksudkan adalah penggunaan energy oleh konsumen dan mikroorganisme. Laju produksi makhluk hidup dalam ekosistem disebut sebagai produktivitas.
Produktivitas primer merupakan laju penambatan energy yang dilakukan oleh produsen.  Menurut Campbell (2002), Produktivitas primer menunjukkan Jumlah energy cahaya yang diubah menjadi energy kimia oleh autotrof suatu ekosistem selama suatu periode waktu tertentu. Total produktivitas primer dikenal sebagai produktivitas primer kotor (gross primary productivity, GPP). Tidak semua hasil produktivitas ini disimpan sebagai bahan organik pada tubuh organisme produsen atau pada tumbuhan yang sedang tumbuh, karena organisme tersebut menggunakan sebagian molekul tersebut sebagai bahan bakar organic dalam respirasinya. Dengan demikian, Produktivitas primer bersih (net primary productivity, NPP) sama dengan produktivitas primer kotor dikurangi energy yang digunakan oleh produsen untuk respirasi (Rs):
NPP = GPP – Rs
Dalam sebuah ekosistem, produktivitas primer menunjukkan simpanan energy kimia yang tersedia bagi konsumen. Pada sebagian besar produsen primer, produktivitas primer bersih dapat mencapai 50% – 90% dari produktivitas primer kotor. Menurut Campbell et al (2002), Rasio NPP terhadap GPP umumnya lebih kecil bagi produsen besar dengan struktur nonfotosintetik yang rumit, seperti pohon yang mendukung sistem batang dan akar yang besar dan secara metabolik aktif.
Produktivitas primer dapat dinyatakan dalam energy persatuan luas persatuan waktu (J/m2/tahun), atau sebagai biomassa (berat kering organik) vegetasi yang ditambahkan ke ekosistem persatuan luasan per satuan waktu (g/m2/tahun). Namun demikian, produktivitas primer suatu ekosistem hendaknya tidak dikelirukan dengan total biomassa dari autotrof fotosintetik yang terdapat pada suatu waktu tertentu, yang disebut biomassa tanaman tegakan (standing crop biomass). Produktivitas primer menunjukkan laju di mana organisme-organisme mensintesis biomassa baru. Meskipun sebuah hutan memiliki biomassa tanaman tegakan yang sangat besar, produktivitas primernya mungkin sesungguhnya kurang dari produktivitas primer beberapa padang rumput yang tidak mengakumulasi vegetasi (Campbell et al., 2002).
Ruang Lingkup Produktifitas Primer
Sumber energi yang utama dalam pemeliharaan ekosisitem perairan (dan daratan) adalah energi cahaya matahari, proses fiksasi cahaya biasanya melibatkan air sebagai donor hydrogen dalam meruduksi karbondioksida menjadi karbohidrat. Proses ini tidak hanya merupaka bagian dari fotosintesis, dan sebagian bakteri fotosintesis dapat menggunakan sumber-sumber selain air untuk hydrogen. Selainitu terdapat beberapa proses kemosintesis yaitu dengan memperoleh energi untuk sintesis bahan organik dari perubahan kimia.Yang termasuk kedalam produksi utama pada periran yaitu organisme Autotrof yaitu organisme yang menggunakan bahan organik.
Fotosintesis
Merupakan suatu proses biokimia untuk memproduksi energi terpakai (nutrisi) dengan memanfaatkan energi cahaya. Hampir semua makhluk hidup bergantung dari energi yang dihasilkan dalam fotosintesis.
Reaksi kimia untuk fotosintesis:
12H2O + 6CO2 + cahaya → C6H12O6 (glukosa) + 6O2 + 6H2O
Faktor penentu laju fotosintesis:
Cahaya
Merupakan aspek penting dalam fotosintesis , gelombang energi cahaya yang diabsorbsi air dan klorofil berkisar 350-710 nm รจ PAR (Photosynthesis Active Radiation). Sedangkan sinar matahari yang biasa terserap oleh air sekitat 45-50% dari kekuatan cahaya yang sebenarnya.
Beberaapa faktor yang berefek terhadap penerimaan jumlah cahaya untuk dapat sampai ke dalam permukaan air adalah:
a.Ketinggian tempat (altitude).
b.Efek geografik :  jumlah radiasi cahaya matahari dalam setahun (kal/cm2/hari) berbeda secara geografis (latitude).
c.Efek musim : letak geografis, perbedaan musim dalam setahun รจ perbedaan radiasi.
d.Efek diurnal :  pagi atau sore – jarak matahari lebih jauh daripada tengah hari, elevasi cahaya juga lebih rendah (semakin miring) sehingga % cahaya yang dipantulkan semakin besar รจ intensitas cahaya rendah.
e.Efek lokal :  morfologi perairan, arus
f.Konsentrasi karbon dioksida
Semakin banyak karbon dioksida di udara, makin banyak jumlah bahan yang dapt digunakan tumbuhan untuk melangsungkan fotosintesis.
SuhuEnzim-enzim yang bekerja dalam proses fotosintesis hanya dapat bekerja pada suhu optimalnya. Umumnya laju fotosintensis meningkat seiring dengan meningkatnya suhu hingga batas toleransi enzim.
Kadar fotosintat (hasil fotosintesis)Jika kadar fotosintat seperti karbohidrat berkurang, laju fotosintesis akan naik. Bila kadar fotosintat bertambah atau bahkan sampai jenuh, laju fotosintesis akan berkurang.
Karakteristik Air Laut yang Dipengaruhi Oleh Faktor-Faktor Oseanografi
Suhu
Laut tropik memiliki massa air permukaan hangat yang disebabkan oleh adanya pemanasan yang terjadi secara terus-menerus sepanjang tahun. Pemanasan tersebut mengakibatkan terbentuknya stratifikasi di dalam kolom perairan yang disebabkan oleh adanya gradien suhu.  Berdasarkan gradien suhu secara vertikal di dalam kolom perairan, Wyrtki (1961) membagi perairan menjadi 3 (tiga) lapisan, yaitu:
a) lapisan homogen pada permukaan perairan atau disebut juga lapisan permukaan tercampur
b) lapisan diskontinuitas atau biasa disebut lapisan termoklin
c) lapisan di bawah termoklin dengan kondisi yang hampir homogen, dimana suhu berkurang secara perlahan-lahan ke arah dasar perairan.
Menurut Lukas and Lindstrom (1991), kedalaman setiap lapisan di dalam kolom perairan dapat diketahui dengan melihat perubahan gradien suhu dari permukaan sampai lapisan dalam.  Lapisan permukaan tercampur merupakan lapisan dengan gradien suhu tidak lebih dari 0,03oC/m (Wyrtki, 1961), sedangkan kedalaman lapisan termoklin dalam suatu perairan didefinisikan sebagai suatu kedalaman atau posisi dimana gradien suhu lebih dari 0,1 oC/m (Ross, 1970).
Suhu permukaan laut tergantung pada beberapa faktor, seperti presipitasi, evaporasi, kecepatan angin, intensitas cahaya matahari, dan faktor-faktor fisika yang terjadi di dalam kolom perairan.  Presipitasi terjadi di laut melalui curah hujan yang dapat menurunkan suhu permukaan laut, sedangkan evaporasi dapat meningkatkan suhu permukaan akibat adanya aliran bahang dari udara ke lapisan permukaan perairan.  Menurut McPhaden and Hayes (1991), evaporasi dapat meningkatkan suhu kira-kira sebesar 0,1 oC pada lapisan permukaan hingga kedalaman 10 m dan hanya kira-kira 0,12 oC pada kedalaman 10 – 75 m.  Disamping itu Lukas and Lindstrom (1991) mengatakan bahwa perubahan suhu permukaan laut sangat tergantung pada termodinamika di lapisan permukaan tercampur.
Daya gerak berupa adveksi vertikal, turbulensi, aliran buoyancy, dan entrainment dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pada lapisan tercampur serta kandungan bahangnya.  Menurut McPhaden and Hayes (1991), adveksi vertikal dan entrainment dapat mengakibatkan perubahan terhadap kandungan bahang dan suhu pada lapisan permukaan.   Kedua faktor tersebut bila dikombinasi dengan faktor angin yang bekerja pada suatu periode tertentu dapat mengakibatkan terjadinya upwelling.  Upwelling menyebabkan suhu lapisan permukaan tercampur menjadi lebih rendah.  Pada umumnya pergerakan massa air disebabkan oleh angin.  Angin yang berhembus dengan kencang dapat mengakibatkan terjadinya percampuran massa air pada lapisan atas yang mengakibatkan sebaran suhu menjadi homogen.
Salinitas
Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai.  Perairan dengan tingkat curah hujan tinggi dan dipengaruhi oleh aliran sungai memiliki salinitas yang rendah sedangkan perairan yang memiliki penguapan yang tinggi, salinitas perairannya tinggi.  Selain itu pola sirkulasi juga berperan dalam penyebaran salinitas di suatu perairan.
Secara vertikal nilai salinitas air laut akan semakin besar dengan bertambahnya kedalaman.  Di perairan laut lepas, angin sangat menentukan penyebaran salinitas secara vertikal.  Pengadukan di dalam lapisan permukaan memungkinkan salinitas menjadi homogen.  Terjadinya upwelling yang mengangkat massa air bersalinitas tinggi di lapisan dalam juga mengakibatkan meningkatnya salinitas permukaan perairan.
Sistem angin muson yang terjadi di wilayah Indonesia dapat berpengaruh terhadap sebaran salinitas perairan, baik secara vertikal maupun secara horisontal. Secara horisontal berhubungan dengan arus yang membawa massa air, sedangkan sebaran secara vertikal umumnya disebabkan oleh tiupan angin yang mengakibatkan terjadinya gerakan air secara vertikal.  Menurut Wyrtki (1961), sistem angin muson menyebabkan terjadinya musim hujan dan panas yang akhirnya berdampak terhadap variasi tahunan salinitas perairan.   Perubahan musim tersebut selanjutnya mengakibatkan terjadinya perubahan sirkulasi massa air yang bersalinitas tinggi dengan massa air bersalinitas rendah.  Interaksi antara sistem angin muson dengan faktor-faktor yang lain, seperti run-off dari sungai, hujan, evaporasi, dan sirkulasi massa air dapat mengakibatkan distribusi salinitas menjadi sangat bervariasi.
Pengaruh sistem angin muson terhadap sebaran salinitas pada beberapa bagian dari perairan Indonesia telah dikemukakan oleh Wyrtki (1961). Pada Musim Timur terjadi penaikan massa air lapisan dalam (upwelling) yang bersalinitas tinggi ke permukaan di Laut Banda bagian timur dan menpengaruhi sebaran salinitas perairan.  Selain itu juga di pengaruhi oleh arus yang membawa massa air yang bersalinitas tinggi dari Lautan Pasifik yang masuk melalui Laut Halmahera dan Selat Torres.  Di Laut Flores, salinitas perairan rendah pada Musim Barat sebagai akibat dari pengaruh masuknya massa air Laut Jawa, sedangkan pada Musim Timur, tingginya salinitas dari Laut Banda yang masuk ke Laut Flores mengakibatkan meningkatnya salinitas Laut Flores.  Laut Jawa memiliki massa air dengan salinitas rendah yang diakibatkan oleh adanya run-off dari sungai-sungai besar di P. Sumatra, P. Kalimantan, dan P. Jawa.
Densitas air laut (st)
Distribusi densitas dalam perairan dapat dilihat melalui stratifikasi densitas secara vertikal di dalam kolom perairan, dan perbedaan secara horisontal yang disebabkan oleh arus.  Distribusi densitas berhubungan dengan karakter arus dan daya tenggelam suatu massa air yang berdensitas tinggi pada lapisan permukaan ke kedalaman tertentu.  Densitas air laut tergantung pada suhu dan salinitas serta semua proses yang mengakibatkan berubahnya suhu dan salinitas.  Densitas permukaan laut berkurang karena ada pemanasan, presipitasi, run off dari daratan serta meningkat jika terjadi evaporasi dan menurunnya suhu permukaan.
Sebaran densitas secara vertikal ditentukan oleh proses percampuran dan pengangkatan massa air.  Penyebab utama dari proses tersebut adalah tiupan angin yang kuat. Lukas and Lindstrom (1991), mengatakan bahwa pada tingkat kepercayaan 95 % terlihat adanya hubungan yang positif antara densitas dan suhu dengan kecepatan angin, dimana ada kecenderungan meningkatnya kedalaman lapisan tercampur akibat tiupan angin yang sangat kuat. Secara umum densitas meningkat dengan meningkatnya salinitas, tekanan atau kedalaman, dan menurunnya suhu.
FAKTOR UTAMA YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PRIMER DI LAUT
Cahaya
Cahaya merupakan salah satu faktor yang menentukan distribusi klorofil-a di laut. Di laut lepas, pada lapisan permukaan tercampur tersedia cukup banyak cahaya matahari untuk proses fotosintesa.  Sedangkan di lapisan yang lebih dalam, cahaya matahari tersedia dalam jumlah yang sedikit bahkan tidak ada sama sekali. Ini memungkinkan klorofil-a lebih banyak terdapat pada bagian bawah lapisan permukaan tercampur atau pada bagian atas dari permukaan lapisan termoklin jika dibandingkan dengan bagian pertengahan atau bawah lapisan termoklin.  Hal ini juga dikemukakan oleh Matsuura et al. (1997) berdasarkan hasil pengamatan di timur laut Lautan Hindia, dimana diperoleh bahwa sebaran konsentrasi klorofil-a pada bagian atas lapisan permukaan tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari lapisan permukaan tercampur dan menurun secara drastis pada lapisan termoklin hingga tidak ada klorofil-a lagi pada lapisan di bawah lapisan termoklin.
Fotosintesa fitoplankton menggunakan klorofil-a, c, dan satu jenis pigmen tambahan seperti protein-fucoxanthin dan peridinin, yang secara lengkap menggunakan semua cahaya dalam spektrum tampak.  Pada panjang gelombang 400 – 700 nm, cahaya yang diabsorbsi oleh pigmen fitoplankton dapat dibagi dalam: cahaya dengan panjang gelombang lebih dari 600 nm, terutama diabsorbsi oleh klorofil dan cahaya dengan panjang gelombang kurang dari 600 nm, terutama diabsorbsi oleh pigmen-pigmen pelengkap/tambahan (Levinton, 1982).
Dengan adanya perbedaan kandungan pigmen pada setiap jenis plankton, maka jumlah cahaya matahari yang diabsorbsi oleh setiap plankton akan berbeda pula.  Keadaan ini berpengaruh terhadap tingkat efisiensi fotosintesa. Fujita (1970) dalam Parsons et al. (1984) mengklasifikasi alga laut berdasarkan efisiensi fotosintesa oleh pigmen kedalam tipe klorofil-a dan b untuk alga hijau dan euglenoid; tipe klorofil-a, c, dan caratenoid untuk diatom, dinoflagelata, dan alga coklat; dan tipe klorofil-a dan ficobilin untuk alga merah dan alga hijau biru.
Nutrien
Nutrien adalah semua unsur dan senjawa yang dibutuhkan oleh tumbuhan-tumbuhan dan berada dalam bentuk material organik (misalnya amonia, nitrat) dan anorganik terlarut (asam amino). Elemen-elemen nutrien utama yang dibutuhkan dalam jumlah besar adalah karbon, nitrogen, fosfor, oksigen, silikon, magnesium, potassium, dan kalsium, sedangkan nutrien trace elementdibutuhkan dalam konsentrasi sangat kecil, yakni besi, copper, dam vanadium (Levinton, 1982). Menurut Parsons et al. (1984), alga membutuhkan elemen nutrien untuk pertumbuhan.  Beberapa elemen seperti C, H, O, N, Si, P, Mg, K, dan Ca dibutuhkan dalam jumlah besar dan disebut makronutrien, sedangkan elemen-elemen lain dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit dan biasanya disebut mikronutrien atau trace element.
Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada konsentrasi nutrien.  Konsentrasi nutrien di lapisan permukaan sangat sedikit dan akan meningkat pada lapisan termoklin dan lapisan di bawahnya.  Hal mana juga dikemukakan oleh Brown et al. (1989), nutrien memiliki konsentrasi rendah dan berubah-ubah pada permukaan laut dan konsentrasinya akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman serta akan mencapai konsentrsi maksimum pada kedalaman antara 500 – 1500 m.
Suhu
Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara langsung maupun tidak langsung.  Pengaruh secara langsung yakni suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesa.  Tinggi suhu dapat menaikkan laju maksimum fotosintesa (Pmax), sedangkan pengaruh secara tidak langsung yakni dalam merubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton (Tomascik et al., 1997 b).
Secara umum, laju fotosintesa fitoplankton meningkat dengan meningkatnya suhu perairan, tetapi akan menurun secara drastis setelah mencapai suatu titik suhu tertentu. Hal ini disebabkan karena setiap spesies fitoplankton selalu berdaptasi terhadap suatu kisaran suhu tertentu.
HUBUNGAN ANTARA FAKTOR OSEANOGARFI DAN PRODUKTIVITAS PRIMER PERAIRAN INDONESIA
Perairan Indonesia yang merupakan bagian dari laut tropik dicirikan oleh cukup tersedia cahaya matahari namun memiliki konsentrasi nutrien rendah. Keadaan ini mengakibatkan produktivitasnya sangat rendah.  Seperti halnya produktivitas yang rendah bila dibandingkan dengan lingkungan laut lainnya, misalnya dengan laut tropik, laut lepas merupakan bagian dari badan perairan bahari yang memiliki laju produktivitas rendah.  Menurut Valiela (1984), laut terbuka yang luasnya 90 % dari laut dunia memiliki laju perairan pantai, dimana produktivitasnya melebihi 60 % dari produktivitas yang ada di laut.
Skema pendekatan masalah untuk melihat pengaruh faktor oseanografi terhadap produktivitas primer perairan Indonesia.
Laju produksi primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor fisika antara lain:
1.        Upwelling
Tingginya produktivitas di laut terbuka yang mengalami upwelling disebabkan karena adanya pengkayaan nutrien pada lapisan permukaan tercampur yang dihasilkan melalui proses pengangkatan massa air dalam. Seperti yang dikemukakan oleh Cullen et al. (1992) bahwa konsentrasi klorofil-a dan laju produktivitas primer meningkat di sekitar ekuator, dimana terjadi aliran nutrien secara vertikal akibat adanya upwelling di daerah divergensi ekuator.
Beberapa daerah-daerah perairan Indonesia yang mengalami upwelling akibat pengaruh pola angin muson adalah Laut Banda, dan Laut Arafura (Wyrtki, 1961 dan Schalk, 1987), Selatan Jawa  dan  Bali ( Hendiarti dkk, 1995 dan Bakti, 1998), dan Laut Timor (Tubalawony, 2000).
Dari pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di Laut Banda dan Laut Aru diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi dijumpai pada Musim Timur, dimana pada saat tersebut terjadiupwelling di Laut Banda, sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada Musim Barat.  Pada saat ini di Laut Banda tidak terjadi upwelling dalam skala yang besar sehingga nilai konsentrasi nutrien di perairan lebih kecil.  Di perairan Banda (Vosjan and Nieuwland, 1987) pada Musim Timur terdapat 2 (dua) periode “bloom” fitoplankton, pertama pada bulan Juni dan kedua di bulan Agustus/September.  Selanjutnya Nontji (1975), dari hasil studi distribusi klorofil-a di Laut Banda pada fase akhir di bulan September diperoleh bahwa konsentrasi klorofil tertinggi di bagian timur Laut Banda, khususnya di sekitar Pulau Kei dan Tanimbar. Juga dikatakan bahwa 60% dari klorofil-a tersebut berada pada kedalaman 25 m. Hendiarti dkk. (1995) mendapatkan bahwa pada Musim Timur di perairan selatan Pulau Jawa-Bali dimana terjadi upwelling, rata-rata konsentrasi klorofil-a sebesar 0,39 mm/l dan pada Musim Barat sekitar 0,18 mm/l.
2.  Percampuran Vertikal Massa Air
Percampuran vertikal massa air sangat berperan di dalam menyuburkan kolom perairan yaitu dengan cara mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan. Dengan meningkatnya nutrien pada lapisan permukaan dan dibantu dengan penetrasi cahaya matahari yang cukup di dalam kolom perairan dapat meningkatkan laju produktivitas primer melalui aktivitas fotosintesa fitoplankton. Chaves and Barber (1987) mengatakan bahwa masukan nutrien terutama untuk mengoptimalkan konsentrasi NO3 pada lapisan permukaan dan secara relatif meningkatkan produksi baru.
Percampuran massa air secara vertikal dipengaruhi oleh tiupan angin.  Pada saat Musim Timur di perairan Indonesia bertiup angin Muson Tenggara yang mengakibatkan sebagian besar perairan Indonesia Timur mengalami pergolakan yang mengakibatkan terjadinya percampuran massa air secara vertikal.  Tubalawony (2000) berdasarkan data ekspedisi Baruna Jaya pada musim timur tahun 1991 mendapatkan adanya percampuran vertikal massa air di  perairan lepas pantai Laut Timor yang umumnya lebih dangkal.  Akibatnya kandungan klorofil-a di dalam kolom perairan  umumnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan bagian lain dari perairan Laut Timor.
3.      Percampuran Massa Air secara Horisontal
Sistem angin muson dan arlindo juga mempengaruhi pola sirkulasi massa air di Perairan Indonesia.  Sistem ini mengakibatkan terjadinya percampuran antara dua massa air yang berbeda di suatu perairan.  Misalnya pada saat Musim Timur, massa air dari Lautan Pasifik akan bertemu dengan massa air Laut Banda yang mengalami upwelling atau pada saat bertiup angin muson tenggara terjadi penyebaran massa air perairan Indonesia Timur ke perairan Indonesia bagian barat dan sebaliknya terjadi pada saat bertiup angin muson barat laut. Dengan demikian sirkulasi massa air dan percampuran massa air akan mempengaruhi produktivitas primer suatu perairan.  Tingginya produktivitas suatu perairan akan berhubungan dengan daerah asal dimana massa air di peroleh.  Nontji (1974) dalam Monk et al. (1997) mengatakan bahwa rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia kira-kira 0,19 mg/m3 dan 0,16 mg/m3 selama Musim Barat, dan 0,21 mg/m3 selama Musim Timur.
Selain beberapa faktor fisik di atas, keberadaan lapisan termoklin sangat mendukung tingginya laju produktivitas produksi primer. Bagian bawah dari lapisan tercampur atau bagian atas dari lapisan termoklin merupakan daerah yang memiliki konsentrasi nutrien yang cukup tinggi sehingga dapat merangsang meningkatnya produktivitas primer.  Lapisan termoklin yang dangkal lebih berperan dalam menunjang produktivitas perairan.  Karena pada saat terjadinya proses percampuran vertikal, nutrien pada lapisan termoklin lebih mudah mencapai lapisan permukaan tercampur jika dibandingkan dengan lapisan termoklin yang lebih dalam.  Beberapa penelitian tentang produktivitas primer dalam kaitannya dengan keberadaan massa air menyimpulkan bahwa kedalaman dimana konsentrasi klorofil-a maksimum adalah pada bagian batas atas lapisan termoklin.  Matsuura et al. (1997) dari hasil pengamatannya di timur laut Lautan Hindia mendapatkan bahwa konsentrasi klorofil-a pada lapisan permukaan tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari lapisan permukaan tercampur dengan konsentrasi maksimum terdapat pada kedalaman kira-kira 75 – 100 m. Sedangkan Hendiarti dkk. (1995) mengatakan bahwa konsentrasi maksimum klorofil-a di perairan selatan Pulau Jawa – Bali berada pada kedalaman 20 m pada Musim Timur dan 80 m pada Musim Barat. Umumnya kedalaman tersebut merupakan batas atas lapisan termoklin.
Lintasan massa air asal Lautan Pasifik Utara dan selatan di Perairan Indonesia (Publikasi Universitas Columbia, internet, 1997 dalam Naulita, 1998)

















DAFTAR PUSTAKA
·         Levinton, J. S., 1982. Marine Ecology. Printice – Hall inc.
o    Wyrtki, K., 1961. Physical Oceanography of the Southeast Asean Waters, NAGA Rep. 2. Scripps Inst. of  Oceanography La jolla, Calif.
o    Campbell, N. A., J. B. Reece, L. G. Mitchell. 2002. Biologi (terjemahan), Edisi kelima Jilid 3. Penerbit Erlangga. Jakarta.
o    Lukas R., and E. Lindstrom, 1991. The Mixed Layer of the Western Equatorial Pacific Ocean. J. Geophys. Res., 96: 3343 – 3357
o    McPhaden, and S. P. Hayes, 1991. On the Variability of Winds, Sea Surface Temperature, and Surface Layer Heat Content in the Western Wquatorial Pacific. J. Geosphys. Res. 96: 3331 – 3342.

Senin, 31 Oktober 2011

Asal-usul Vertebrata

PENDAHULUAN
Evolusi adalah perubahan genotip pada suatu populasi yang berlangsung secara perlahan-lahan dan memerlukan waktu yang sangat panjang.Menurut teori evolusi, kehidupan berawal dan berevolusi di laut, kemudian amfibi memindahkannya ke darat. Skenario evolusi ini juga menyatakan bahwa amfibi kemudian berevolusi menjadi reptil, makhluk yang hanya hidup di darat. Sekali lagi, skenario ini tidak masuk akal, karena terdapat perbedaan-perbedaan struktural yang jauh antara dua kelompok besar hewan ini. Misalnya, telur amfibi didesain untuk berkembang di dalam air sedangkan telur amniotik reptil didesain untuk berkembang di darat. Evolusi “bertahap” amfibi adalah mustahil, sebab tanpa telur yang didesain dengan baik dan sempurna tidak mungkin sebuah spesies dapat bertahan hidup. Selain itu, seperti biasa, tidak ada bukti bentuk transisi yang mestinya menghubungkan amfibi dengan reptil. Robert L. Carrol, seorang ahli paleontologi vertebrata, mengakui bahwa reptil-reptil awal sangat berbeda dengan amfibi dan nenek moyang mereka belum dapat ditemukan.
Teori evolusi menurut Jean Lamarck
1.      Evolusi organik terjadi karena perubahan-perubahan yang disebabkan oleh pengaruh lingkungannya dapat diturunkan.

2.      Organ yang mengalami perubahan karena terus menerus dipakai akan berkembang makin sempurna dan organ yang tidak diperlukan lagi lama kelamaan perkembangannya menurun dan akhirnya rudiment atau atrofi. Namun teori Lamarck disanggah Weismann.
Teori Evolusi Menurut Charles Darwin
1.      Spesies yang ada sekarang adalah keturunan dari spesies-spesies sebelumnya.
2.      Seleksi alam sangat menentukan berlangsungnya mekanisme evolusi.
Seleksi alam merupakan gagasan murni dari Darwin. Sementara teori pertama di atas telah ada sejak jama Yunani kuno, hanya saja Darwin menjelaskannya secara lebih tajam dan detil.
Ciri-ciri proses evolusi
1.       Evolusi adalah perubahan dalam satu populasi bukan perubahan individu.
2.       Perubahan yang terjadi hanya frekuensi gen-gen tertentu, sedangkan sebagian      besar sifat gen tidak berubah.
3.      Evolusi memerlukan penyimpangan genetik sebagai bahan mentahnya. Dengan kata lain harus ada perubahan genetik dalam evolusi.
4.      Dalam evolusi perubahan diarahkan oleh lingkungan, harus ada faktor pengarah sehingga evolusi adalah perubahan yang selektif.
Faktor Perubahan
1.       Mutasi gen maupun mutasi kromosom menghasilkan bahan mentah untuk evolusi. Tetapi Darwin sendiri sebenarnya tidak mengenal mutasi ini, sementara mutasi merupakan peristiwa yang sangat penting yang mendukung keabsahan teori Darwin.
2.       Rekombinasi perubahan yang dikenal Darwin. Rekombinasi dari hasil-hasil mutasi memperlengkap bahan mentah untuk evolusi.
Faktor pengarah :
1.       Dalam setiap species terdapat banyak penyimpangan yang menurun, karenanya dalam satu species tidak ada dua individu yang tepat sama dalam susunan genetiknya (pada saudara kembar misalnya, susunan genetiknya tetap tidak sama).
2.       Pada umumnya proses reproduksi menghasilkan jumlah individu dalam tiap generasi lebih banyak daripada jumlah individu pada generasi sebelumnya.
3.       Penambahan individu dalam tiap species ternyata dikendalikan hingga jumlah suatu populasi species dalam waktu yang cukup lama tidak bertambah secara drastis.
4.       Ada persaingan antara individu-individu dalam species untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya dari lingkungannya. Persaingan intra species ini terjadi antara individu-individu yang berbeda sifat genetiknya. Individu yang mempunyai sifat paling sesuai dengan lingkungannya akan memiliki viabilitas yang tinggi. Di samping viabilitas juga fertilitas yang tinggi merupakan faktor yang penting dalam seleksi alam.

Mekanisme evolusi terjadi karena adanya variasi genetik dan seleksi alam.
Variasi genetik muncul akibat : mutasi dan rekombinasi gen-gen dalam keturunan baru.

Frekuensi Gen
Pada proses evolusi terjadi perubahan frekuensi gen. Bila perbandingan antara genotp-genotp dalam satu populasi tidak berubah dari satu generasi ke generasi, maka frekuensi gen dalam populasi tersebut dalam keadaan seimbang. Frekuensi gen seimbang bila :
1.       Tidak ada mutasi atau mutasi berjalan seimbang (jika gen A bermutasi menjadi gen a, maka harus ada gen a yang menjadi gen A dalam jumlah yang sama).
2.       Tidak ada seleksi
3.       Tidak ada migrasi
4.       Perkawinan acak
5.       Populasi besar
Bila frekuensi gen dalam satu populasi ada dalam keadaan seimbang berlaku Hukum Hardy Weinberg.
Apabila frekuensi gen yang satu dinyatakan dengan p dan alelnya adalah q, maka menurut
Weinberg :
(p+q)=1
Bila frekuensi gen A=p dan frekuensi gen a =1 maka frekuensi genotip :
AA : Aa : aa : p^2 : 2pq : q^2
Terbentuknya spesies baru dapat terjadi karena :
1.       Isolasi waktu
 Misalnya adalah kuda. Kuda jaman eosen yaitu Eohippus - Mesohippus - Meryhippus - Pliohippus - Equus. Dari jaman eosin hingga sekarang seorang ahli palaentolog menduga telah terjadi 150 ribu kali mutasi yang menguntungkan untuk setiap gen kuda. Dengan dmikian terdapat cukup banyak perbedaan antara nenek moyang kuda dengan kuda yang kita kenal sekarang. Oleh sebab itu kuda-kuda tersebut dinyatakan berbeda species.
2.       Isolasi geografis
Burung Fringilidae yang mungkin terbawa badai dari pantai Equador ke kepulauan Galapagos. Karena pulas-pulau itu cukup jauh jaraknya maka perkawinan populasi satu pulau dengan pulau lainnya sangat jarang terjadi. Akibat penumpukan mutasi yang berbeda selama ratusan tahun menyebabkan kumpulan gen yang jauh berbeda pada tiap-tiap pulaunya. Dengan demikian populasi burung di tiap-tiap pulau di kepulauan Galapagos menjadi spesies yang terpisah.
3.       Domestikasi
Hewan ternak yang dijinakkan dari hewan liar dan tanaman budi daya dari tumbuhan liar adalah contoh domestikasi. Domestikasi memindahkan makhluk-makhluk tersebut dari habitat aslinya ke dalam lingkungan yang diciptakan manusia. Hal ini mengakibatkan muncul jenis hewan dan tumbuhan yang memiliki sifat menyimpang dari sifat aslinya.
4.       Mutasi kromosom
Adalah peristiwa terjadinya species baru secara cepat.
Isolasi Reproduksi
Isolasi reproduksi terjadi karena :
1.       Isolasi ekologi : isolasi karena menempati habitat yang berbeda.
2.       Isolasi musim : akibat berbeda waktu pematangan gamet.
3.       Isolasi tingkah laku : akibat berbeda tingkah laku dalam hal perkawinan.
4.       Isolasi mekanik : karena bentuk morfologi alam kelamin yang berbeda.
5.       Isolasi gamet : karena gamet jantan tidak memiliki viabilitas dalam alat reproduksi betina.
6.       Terbentuknya basta mandul.
7.       Terbentuk bastar mati bujang.
Dengan berbagai perkembangan dalam perkembangan dalam ilmu biologi, khususnya genetika maka kemudian Teori Evolusi Darwin diperkaya. Seleksi alam tidak lagi menjadi satu-satunya agen penyebab terjadinya evolusi, melainkan ada tambahan faktor-faktor penyebab lain yaitu: mutasi, aliran gen, dan genetic drift. Oleh karenanya teori evolusi yang sekarang kita seirng disebut Neo-Darwinian atau Modern Systhesis.
Secara singkat, proses evolusi oleh seleksi alam (Neo Darwinian) terjadi karena adanya:
a. Perubahan frekuensi gen dari satu generasi ke generasi berikutnya.
b. Perubahan dan genotype yang terakumulasi seiring berjalannya waktu.
c. Produksi varian baru melalui pada materi genetic yang diturunkan (DNA/RNA).
d. Kompetisi antar individu karena keberadaan besaran individu melebihi sumber daya lingkungan tidak cukup untuk menyokongnya.
e. Generasi berikut mewarisi “kombinasi gen yang sukses” dari individu fertile (dan beruntung) yang masih dapat bertahan hidup dari kompetisi.
   
Referensi :